Konsep Kerja dalam Islam
Kemuliaan seorang manusia itu bergantung kepada apa yang dilakukannya. Dengan itu, sesuatu amalan atau pekerjaan yang mendekatkan seseorang kepada Allah adalah sangat penting serta patut untuk diberi perhatian.
Amalan atau pekerjaan yang demikian selain memperoleh keberkahan serta kesenangan dunia, juga ada yang lebih penting yaitu merupakan jalan atau tiket dalam menentukan tahap kehidupan seseorang di akhirat kelak, apakah masuk golongan ahli syurga atau sebaliknya. Menurut Asyraf Hj Ab Rahman (dalam Khayatun, 2008), istilah “kerja” dalam Islam bukanlah semata-mata merujuk kepada mencari rezeki untuk menghidupi diri dan keluarga dengan menghabiskan waktu siang maupun malam, dari pagi hingga sore, terus menerus tak kenal lelah, tetapi kerja mencakup segala bentuk amalan atau pekerjaan yang mempunyai unsur kebaikan dan keberkahan bagi diri, keluarga dan masyarakat sekelilingnya serta negara.
Amalan atau pekerjaan yang demikian selain memperoleh keberkahan serta kesenangan dunia, juga ada yang lebih penting yaitu merupakan jalan atau tiket dalam menentukan tahap kehidupan seseorang di akhirat kelak, apakah masuk golongan ahli syurga atau sebaliknya. Menurut Asyraf Hj Ab Rahman (dalam Khayatun, 2008), istilah “kerja” dalam Islam bukanlah semata-mata merujuk kepada mencari rezeki untuk menghidupi diri dan keluarga dengan menghabiskan waktu siang maupun malam, dari pagi hingga sore, terus menerus tak kenal lelah, tetapi kerja mencakup segala bentuk amalan atau pekerjaan yang mempunyai unsur kebaikan dan keberkahan bagi diri, keluarga dan masyarakat sekelilingnya serta negara.
Dengan kata lain, orang yang berkerja adalah mereka yang menyumbangkan jiwa dan tenaganya untuk kebaikan diri, keluarga, masyarakat dan negara tanpa menyusahkan orang lain. Oleh karena itu, kategori “ahli surga” seperti yang digambarkan dalam Al-Qur’an bukanlah orang yang mempunyai pekerjaan/jabatan yang tinggi dalam suatu perusahaan/instansi sebagai manajer, 9 direktur, teknisi dalam suatu bengkel dan sebagainya. Tetapisebaliknya AlQur’an menggariskan golongan yang baik lagi beruntung (al-falah) itu adalah orang yang banyak taqwa kepada Allah, khusyu sholatnya, baik tutur katanya, memelihara pandangan dan kemaluannya serta menunaikan tanggung jawab sosialnya seperti mengeluarkan zakat dan lainnya (QS. Al Mu’minun). Golongan ini mungkin terdiri dari pegawai, supir, tukang sapu ataupun seorang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Sifat-sifat di ataslah sebenarnya yang menjamin kebaikan dan kedudukan seseorang di dunia dan di akhirat kelak.
Jika membaca hadits-hadits Rasulullah SAW tentang ciri-ciri manusia yang baik di sisi Allah, maka tidak heran bahwa di antara mereka itu ada golongan yang memberi minum anjing kelaparan, mereka yang memelihara mata, telinga dan lidah dari perkara yang tidak berguna, tanpa melakukan amalan sunnah yang
banyak dan seumpamanya. Banyak hadits yang menjelaskan tentang pentingnya bekerja didalam
Islam, berikut beberapa hadits yang penulis kutip: “Dari Miqdan r.a. dari Nabi Muhammad Saw, bersabda: Tidaklah makan seseorang lebih baik dari hasil usahanya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud a.s., makan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Bukhari) “Dari Abu Abdullah Az-Zubair bin Al-‘Awwam r.a., ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Sungguh seandainya salah seorang di antara kalian mengambil beberapa utas tali, kemudian pergi ke gunung dan kembali dengan memikul seikat kayu bakar dan menjualnya, kemudian dengan hasil itu Allah mencukupkan kebutuhan hidupmu, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada sesama manusia, baik mereka memberi ataupun tidak.” (HR. Bukhari)
“Dalam sebuah hadits Rasul saw bersabda: Barang siapa pada malam hari merasakan kelelahan karena bekerja pada siang hari, maka pada malam itu ia diampuni Allah.” (HR. Ahmad & Ibnu Asakir)10“Rasulullah saw pernah ditanya, Pekerjaan apakah yang paling baik? Beliau menjawab, Pekerjaan terbaik adalah usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan semua perjualbelian yang dianggap baik.” (HR. Ahmad dan Baihaqi)
Dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Umar r.a., berbunyi : “Bahwa setiap amal itu bergantung pada niat, dan setiap individu itu dihitung berdasarkan apa yang diniatkannya …”. Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda: “Binasalah orang- orang Islam kecuali mereka yang berilmu. Maka binasalah golongan berilmu, kecuali mereka yang beramal dengan ilmu mereka. Dan binasalah golongan yang beramal dengan ilmu mereka kecuali mereka yang ikhlas. Sesungguhnya golongan yang ikhlas ini juga masih dalam keadaan bahaya yang amat besar …”
Dalam hadits-hadits yang disebutkan di atas, menunjukkan bahwa bekerja merupakan perbuatan yang sangat mulia dalam ajaran Islam. Rasulullah SAW memberikan pelajaran menarik tentang pentingnya bekerja. Dalam Islam bekerja bukan sekadar memenuhi kebutuhan perut, tapi juga untuk memelihara harga diri dan martabat kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi. Karenanya, bekerja dalam Islam menempati posisi yang teramat mulia. Islam sangat menghargai orang yang bekerja dengan tangannya sendiri.Ketika seseorang merasa kelelahan atau capai setelah pulang bekerja, maka Allah SWT mengampuni dosa-dosanya saat itu juga. Selain itu, orang yang bekerja, berusaha untuk mendapatkan penghasilan dengan tangannya sendiri baik untuk membiayai kebutuhannya sendiri ataupun kebutuhan anak dan isteri (jika sudah berkeluarga), dalam Islam orang seperti ini dikategorikan jihad fi sabilillah.
Dengan demikian Islam memberikan apresiasi yang sangat tinggi bagi mereka yang mau berusaha dengan sekuat tenaga dalam mencari nafkah (penghasilan). 11 Kerja juga berkait dengan martabat manusia. Seorang yang telah bekerja dan bersungguh-sungguh dalam pekerjaannya akan bertambah martabat dan kemuliannya. Sebaliknya, orang yang tidak bekerja alias menganggur, selain kehilangan martabat dan harga diri di hadapan dirinya sendiri, juga di hadapan orang lain. Jatuhnya harkat dan harga diri akan menjerumuskan manusia pada
perbuatan hina. Tindakan mengemis, merupakan kehinaan, baik di sisi manusia maupun di sisi Allah SWT.
perbuatan hina. Tindakan mengemis, merupakan kehinaan, baik di sisi manusia maupun di sisi Allah SWT.
Seperti hadits di atas Rasulullah mengutarakan bahwa orang yang pergi ke gunung dengan membawa seutas tali untuk mencari kayu bakar yang kemudian ia jual, maka apa yang dihasilkan dari menjual kayu bakar itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada sesama manusia. Makna yang dapat dipetik dari hadits diatas juga menjelaskan betapa niat yang disertai dengan keikhlasan itulah inti sebenarnya dalam kehidupan dan
pekerjaan manusia. Alangkah baiknya kalau umat Islam hari ini, dapat bergerak dan bekerja dengan tekun dan mempunyai tujuan yang satu, yaitu mardatillah(keridhaan Allah) itulah yang dicari dalam semua urusan. Dari situlah akan lahir nilai keberkahan yang sebenarnya dalam kehidupan yang penuh dengan curahan
rahmat dan nikmat yang banyak dari Allah. Inilah golongan yang diistilahkan sebagai golongan yang tenang dalam ibadah, ridha dengan kehidupan yang ditempuh, serta optimis dengan janji-janji Allah.
Bekerja dalam Islam akan mendapatkan pahala, kenapa? Jawabannya sederhana, karena bekerja dalam konsep Islam merupakan kewajiban atau fardhu. 12 Dalam kaidah fiqh, orang yang menjalankan kewajiban akan mendapatkan pahala, sedangkan mereka yang meninggalkannya akan terkena sanksi dosa.Tentang kewajiban bekerja, Rasulullah bersabda:“Mencari rezeki yang halal itu wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa dan sebagainya)”. (HR. Ath-Thabrani dan al-Baihaqi) Karena bekerja merupakan kewajiban, maka tidak heran jika Umar bin Khaththab pernah menghalau orang yang berada di masjid agar keluar untuk mencari nafkah.
Umar tidak suka melihat orang yang pada siang hari tetap asyik duduk di masjid, sementara matahari sudah terpancar bersinar. Akan tetapi perlu diingat bahwa yang dimaksud dalam hadits-hadits di atas adalah orang yang bekerja sesuai dengan ajaran Islam. Bekerja pada jalur halal dan bukan bekerja dengan pekerjaan yang diharamkan oleh Allah SWT
Disusun oleh :
ANANTO PRAMANDHIKA
NIM. C2A607017
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2011
Disusun oleh :
ANANTO PRAMANDHIKA
NIM. C2A607017
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2011